Betangnews.com, Palangka Raya – Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang diterima Kalimantan Tengah pada tahun 2025 mengalami penurunan signifikan, hanya mencapai Rp117,897 miliar dari sebelumnya Rp256,177 miliar pada 2024. Penurunan ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Provinsi Kalteng pun mempertanyakan kebijakan ini kepada pemerintah pusat agar dapat memperoleh kejelasan dan solusi.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng, Rawing Rambang, menyoroti dampak besar dari pengurangan DBH ini terhadap industri sawit, khususnya bagi petani kecil. Menurutnya, infrastruktur pendukung perkebunan bisa terbengkalai, menghambat produksi dan distribusi sawit, serta merugikan perekonomian masyarakat pedesaan.
Rawing mengingatkan bahwa jika penurunan ini terus terjadi, petani sawit rakyat akan merasakan dampak paling besar. Pendapatan daerah yang berkurang juga berpotensi mengganggu berbagai program pembangunan yang telah dirancang sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah konkret guna mengatasi permasalahan ini.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng, Rizky Badjuri, menyatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Komisi I DPRD Kalteng dan berencana menemui kementerian terkait guna mendapatkan kejelasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan penurunan drastis DBH sawit tersebut.
Di sisi lain, Pemkab Kotawaringin Timur (Kotim) mengungkapkan dua faktor utama yang memicu turunnya DBH sawit pada 2025. Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kotim, Alang Arianto, menjelaskan bahwa pertumbuhan sektor perkebunan pada 2024 tercatat minus 0,19%. Selain itu, adanya peremajaan tanaman sawit dalam skala besar dan konflik lahan turut menjadi penyebab berkurangnya produksi sawit di daerah tersebut.
Kotim yang memiliki lahan sawit terluas di Kalteng, sekitar 460.000 hektare, mengalami penurunan DBH yang signifikan. Dari Rp41 miliar pada 2024, dana tersebut anjlok menjadi Rp16 miliar pada 2025. Alang menekankan bahwa DBH sawit dihitung berdasarkan hasil produksi perkebunan, bukan luas Hak Guna Usaha (HGU), sehingga produksi yang terganggu berdampak langsung pada penerimaan daerah.
Konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat menjadi kendala serius bagi industri sawit di Kotim. Pemortalan dan klaim lahan yang menyebabkan perusahaan tidak dapat memanen sawit turut memperburuk situasi. Dengan sektor perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi Kotim, penurunan produksi akan berimbas pada pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah bersama DPRD Kalteng diharapkan dapat memperjuangkan peningkatan kembali DBH sawit agar pembangunan daerah tetap berjalan optimal. Langkah-langkah strategis harus segera dirumuskan guna menjaga stabilitas ekonomi di Kalteng. Kejelasan dari pemerintah pusat terkait skema perhitungan DBH sawit juga menjadi hal yang sangat dinantikan.
Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar dampak penurunan DBH sawit tidak semakin meluas. Tanpa langkah cepat dan konkret, kondisi ekonomi dan pembangunan daerah bisa semakin terpuruk dalam beberapa tahun ke depan. (mitra/betangnews.com)